Beribadah atau berkhalwat dimasjidil haram
Suara Imam terdengar paling tartil dan estetis saat membacakan ayat kesatu QS. Al Isra. Hati saya tergetar.
Sub-ḥānallażī asrā bi'abdihī lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣallażī bāraknā ḥaulahụ linuriyahụ min āyātinā, innahụ huwas-samī'ul-baṣīr
Ayat ini adalahsalah satu kesayangan saya. Karena berisi mengenai keutamaan Masjidil Aqsha yang diberkahi.
Saya pandangi Ka'bah yang terdapat di depan mata. Shalat tahajud, kemudian dilanjutkan menantikan adzan sampai shalat Subuh ini rasanya lebih khusuk, sebab Allah terasa paling dekat.
Saya bersyukur sekali pagi ini dapat shalat Subuh di lokasi Mathaf atau area lokasi thawaf yang serupa di sekeliling Ka'bah.
Awalnya saya ragu memungut posisi shalat di sini, sebab saat umrah akhir tahun lalu, lokasi Mathaf tidak boleh dipakai untuk shaf perempuan. Semua wanita harus shalat di Mushala Annisa atau lokasi shalat khusus wanita yang diberi batas dengan rak-rak Alquran. Sehingga susah sekali dapat shalat seraya menatap Ka'bah tanpa penghalang.
Kalau tetap bandel memungut posisi di lokasi Mathaf, menjelang adzan, seringkali askar wanita akan "mengusir" agar pindah lokasi ke Mushola Annisa.
Waktu tersebut sebagian lokasi Mathaf sedang diblokir untuk pembangunan ekspansi Masjidil Haram. Sehingga ada penataan yang ketat guna kelancaran jamaah yang sedang thawaf. Syukurlah pembangunannya tahun ini sudah berlalu dan lokasi Mathaf boleh dipakai lagi guna shaf perempuan.
Usai salam, seraya berdoa saya pandangi Multazam dari kejauhan. Terbayang sejumlah jam kemudian saya terombang-ambing bareng derasnya arus insan untuk dapat menderaskan doa di dinding bawah pintu Ka'bah.
"Mb Uttiek masuk, Mb!" seru Ustadz Dedi yang membukakan jalan. Tadi saya thawaf sunah 2/3 malam tanpa Lambang, sebab dia sedang sakit perut.
Bergegas saya mendekat. Karena sudah sejumlah kali melakukannya, saya telah paham "trik-nya" untuk dapat mendekat hingga menempel tembok Multazam.
Jangan melawan arus. Ikuti saja gelombang manusianya. Nanti anda akan terbawa mendekat. Suasana memang tidak banyak dramatis, karena tidak sedikit perempuan dan orangtua yang menangis. Namun kuatkan hati seraya terus memohon, "Allahumma yassir wa la tuassir -Ya Allah mudahkanlah, tidak boleh dipersulit."
"Sini Ibu," tiba-tiba tangan saya ditarik seorang perempuan. Ruang di depan saya yang sebelumnya padat insan mendadak kosong. Dua langkah, tubuh saya telah menempel di Multazam. Saya telungkupkan kedua telapak tangan, merasai dinding suci lokasi segala doa diijabah ini.
Lidah saya kelu kehilangan kata-kata. Semua doa yang telah saya siapkan tiba-tiba lenyap dari kepala. Yang tersisa melulu rasa penyesalan yang mendalam atas segala dosa. Saya tergugu hingga sesak nafas.
"Wafatkan aku dalam suasana husnul khotimah. Terima aku di surgaMu yaa Rabb," melulu itu doa yang mampu saya sampaikan berulang-ulang. Semua pinta menjadi tak lagi penting, kecuali Allah ridha atas surgaNya.
Gemuruh suara insan di belakang saya seketika senyap. Hanya terdapat saya dan Allahu Rabbi. Saya rasakan hangat dekapanNya. "Aku hambamu yaa Rabb. Yang datang dengan segala dosa."
Entah berapa menit saya sedang di momen transendental itu, sampai kesadaran menyeruak, saya mesti mengucap doa, "Yaa Raddad, yaa Raddad, urdudna illa Baitul Haram -Wahai Sang Maha Pengembali kembalikan aku segera ke rumahMu ini-."
Doa tersebut selalu saya deraskan di tempat-tempat dan masa-masa mustajab. Malam ini terkumpul sejumlah keutamaan: doa di Multazam ijabah, doa di 2/3 malam ijabah, doa mushafir ijabah, doa di hari Jumat ijabah. "Ahrijna yaa Allah -kabulkan yaa Allah."
Adalah Ustadz Dedi Hariadi Hidayat yang memperkenalkan saya pada thawaf sunah 2/3 malam sekian tahun lalu. Setelah itu laksana candu yang tak dapat lepas. Setiap umrah saya tidak jarang kali mengagendakannya, selelah apapun hari itu.
Usai thawaf, kemudian berdoa di dinding Multazam dan shalat di Hijir Ismail, kemudian tahajud seraya menatap Ka'bah di keheningan malam dan menanti kumandang adzan Subuh.
Subhanallah....
Tak terdapat kata-kata estetis yang lumayan untuk mengungkapkannya.
Allah terasa paling dekat, mendekap hangat, seraya membisikkan janjinya, "Fadzkuruni adzkurkum -berdoalah niscaya aku kabulkan."